Entri yang Diunggulkan

  Operasi pada Confine Spaces ( ruang sempit) Seiring kemajuan jaman, Dinas Pemadam Kebakaran sebagai institusi dituntut untuk memberikan ...

Sunday, June 28, 2020

Pencegahan Kebakaran Gedung

PENGETAHUAN DASAR FIRE ALARM

 


Pembangunan yang pesat di Indonesia dewasa ini  membuat para penghuni dan pengguna gedung diharuskan memahami arti penting dari keselamatan, utamanya dari ancaman bahaya kebakaran. Bangunan bertingkat tentu memiliki jumlah penghuni ataupun pengguna yang tidak sedikit apalagi jika bangunan tersebut berfungsi pula sebagai ruang publik. Dengan demikian keselamatan para penggunanya tentu harus diutamakan dan tidak dapat diabaikan.. Bangunan bertingkat tentu memiliki jumlah penghuni ataupun pengguna yang tidak sedikit apalagi jika bangunan tersebut berfungsi pula sebagai ruang publik. Dengan demikian keselamatan para penggunanya tentu harus diutamakan dan tidak dapat diabaikan.

Risiko yang sering muncul dalam pembangunan dan pengelolaan gedung bertingkat adalah bahaya kebakaran. Untuk itu “Sytem Monitoring Program Fire Alarm System” sebagai syarat “Sistem Manajemen Pencegahan Bahaya Kebakaran Gedung Bertingkat” dan semoga juga dapat memberikan kontribusi untuk mengurangi risiko bahaya kebakaran pada bangunan gedung bertingkat.

Api dapat menjadi teman sekaligus lawan bagi manusia. Dalam keadaan terkendali, api sangatlah membantu untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan dalam hidup kita. Namun, apabila api ini tidak terkendali, maka api dapat menjadi sumber bencana yang dapat mencelakakan bahkan bisa membawa kematian. Pada bangunan gedung bertingkat dimana akses untuk menyelamatkan diri adalah sedikit dan terbatas, maka perlu dilakukan tindakan – tindakan pencegahan bahaya kebakaran yang efektif dan efisien dan terintegrasi dalam satu sistem manajemen sehingga implementasi dan pembaharuannya dapat mengikuti kebutuhan yang ada.

Hasil temuan menyatakan bahwa kebakaran di gedung bertingkat lebih mematikan dan merugikan dibandingkan dengan dari lokasi-lokasi lain dimana bencana kebakaran terjadi. Ditambah lagi penanganan kebakaran di lokasi gedung bertingkat lebih menyulitkan dan berisiko tinggi. Sebuah data dikutip dari National Academy of Sciences US (1986) mencatat bahwa 50% sampai 80% kematian karena kebakaran disebabkan oleh racun asap yang keluar dari bencana kebakaran.

Data lain menjelaskan bahwa asap merupakan pembunuh terbesar dalam kejadian   kebakaran. Sebanyak 72% korban kebakaran diakibatkan oleh asap, maka dengan mudah asap dapat melampaui kecepatan jalan anak-anak, wanita hamil dan orang –  orang yang memiliki keterbatasan (disabled people) pada saat dilakukan evakuasi. Fakta yang sama juga terjadi di Indonesia, dimana kejadian kebakaran di gedung bertingkat juga sering terjadi. Sebuah peristiwa kebakaran gedung bertingkat di kawasan kota Medan dimana menelan 20 orang korban tewas meskipun terjadi di dalam lokasi sebuah  gedung berlantai empat saja. Diketahui sebagian besar korban tewas karena menghirup asap hasil kebakaran ketika mereka kesulitan mencari jalan keluar dari lokasi kebakaran di lantai tiga gedung tersebut.

Apabila bangunan sekelas Ruko saja apabila terbakar dapat menghasilkan kerugian yang sedemikian hebat, bagaimana halnya dengan bangunan bertingkat seperti di bandar udara. Menurut definisinya “bangunan bertingkat” adalah bangunan yang memiliki minimal 2 lantai atau lebih. Semakin tinggi bangunan tersebut tentu semakin besar pula risiko akibat bahaya kebakaran. Jelas perlindungan terhadap bahaya kebakaran mutlak diperlukan pada bangunan tinggi.

Karena ketinggian dan luas bangunan yang biasanya cukup signifikan, maka penggunaan sistem pemadam kebakaran harus dipilih dengan tepat agar mudah dan praktis dalam penggunaannya. Sistem Monitoring Program Fire Alarm System yang digunakan di Bandar Udara sangatlah tepat, karena petugas dapat lebih mudah memantau daerah suatu bangunan dan peralatan pencegahan bahaya kebakaran yang terpasang di dalam gedung tersebut.

Pengertian Fire Protection System (Sistem Fire Alarm)

Sistem fire protection atau disebut juga dengan sistem fire alarm (sistem pengindra api) adalah suatu sistem terintegrasi yang didesain untuk mendeteksi adanya gejala kebakaran, untuk kemudian memberikan peringatan (warning) dalam sistem evakuasi dan ditindaklanjuti secara otomatis maupun manual atau dengan sistem instalasi pemadam kebakaran (sistem Fire fighting). Peralatan utama dari sistem protection ini adalah MCFA (Main Control Fire Alarm) atau disebut juga dengan Fire Alarm Control Panel (FACP). MACP berfungsi meneriman sinyal masuk (input signal) dari detector dan komponen pendeteksi lainnya (Fixed Heat detector dan smoke detector).

 

Jenis Sistem Pendeteksi

Dalam prakteknya, ada 3 sistem pendetectian dari fire protection ini, yaitu:

Non addresable System

Semi addresable System

Full Adresable System

 

Non addresable System

Sistem ini disebut juga dengan sistem konvensional. Pada sistem inji MCFA menerima sinyal masukan langsung dari detector (biasanya jumlahnya sangat terbatas) tanpa pengalamatan dan langsung memerintahkan  komponen outpu (keluaran) untuk merespon input (masukan) tersebut. Sistem ini pada umumnya digunakan pada bangunan / area supervisi berskala kecil, seperti perumahan, pertokoan, perkantoran, dan lain-lain.


Fire Alarm System: Non Addressable Fire Alarm System

Semi Addresable System

Pada sistem ini dilakukan pengelompokan pada detector dan alat penerima masukan (input) berdasarkan area pengawasan (supervisory area). Masing-masing zona dikendalikan (baik input maupun output) oleh zona kontroler yang mempunyai alamat/ adress yang spesifik. Pada saat detector atau alat penerima masukan lainnya memberikan sinyal, maka MCFA akan meresponnya (I/O) berdasar zona kontroler yang mengumpulkannya.

Dalam kontruksinya tiap zona dapat terdiri dari:

  • Satu lantai dalam bangunan / gedung
  • Beberapa ruangan yang berdekatan pada satu lantai di sebuah gedung
  • Beberapa ruangan yang mempunyai karakteristik tadi di sebuah gedung

Pada display MCFA akan terbaca alamat zona yang terjado gejala kebakaran, sehingga dengan demikian tindakan yang harus diambil dapat dilokalisir hanya pada zona tersebut.

 

Sistem Alarm Kebakaran Semi Addressable Pengertian dan Cara Kerjanya

Full Addresable System

Merupakan pengembangan dari sistem semi adresibble. Pada system ini semua detector dan alat pemberi masukan (deteksi) mempunyai alamat yang spesifik, sehingga proses pemadaman dan evakuasi dapat dilakukan langsung pada titik yang diperkirakan mengalami kebakaran.


Addressable Fire Alarm System Hooseki

 

Peralatan Utama

Pendeteksi

Pendeteksi atau alat penerima input (masukan) yang bekerja secara otomatis (automatic Input Device), yaitu:

1.      Heat Detektor (Pengindra panas).

Berdasarkan cara kerjanya, heat detektor dibagi menjadi 2 jenis, yaitu:

a.       ROR (Rate of Rise) Heat Detector

Heat detector adalah pendeteksi kenaikan panas. Jenis ROR adalah yang paling banyak digunakan saat ini, karena selain ekonomis juga aplikasinya luas. Area deteksi sensor bisa mencapai 50m2 untuk ketinggian plafon 4m. Sedangkan untukplafon lebih tinggi, area deteksinya berkurang menjadi 30m2. Ketinggian pemasangan max. hendaknya tidak melebihi 8m. ROR banyak digunakan karena detector ini bekerja berdasarkan kenaikan temperatur secara cepat di satu ruangan kendati masih berupa hembusan panas. Umumnya pada titik 55oC – 63oC sensor ini sudah aktif dan membunyikan alarm bell kebakaran. Dengan begitu bahaya kebakaran (diharapkan) tidak sempat meluas ke area lain. ROR sangat ideal untuk ruangan kantor, kamar hotel, rumah sakit, ruang server, ruang arsip, gudang pabrik dan lainnya.

 

Prinsip kerja ROR sebenarnya hanya saklar bi-metal biasa. Saklar akan kontak saat mendeteksi panas. Karena tidak memerlukan tegangan (supply), maka bisa dipasang langsung pada panel alarm rumah. Dua kabelnya dimasukkan ke terminal Zone-Com pada panel alarm. Jika dipasang pada panel Fire Alarm, maka terminalnya adalah L dan LC. Kedua kabelnya boleh terpasang terbalik, sebab tidak memiliki plus-minus. Sedangkan sifatkontaknya adalah NO (Normally Open).


ROR dan Fixed Heat Detektor

 

b.       Fixed Temperature Detector

 

Fixed Temperature detector termasuk juga ke dalam Heat Detector. Berbeda dengan ROR, maka Fixed Temperature detector baru mendeteksi pada derajat panas yang langsung tinggi. Oleh karena itu cocok ditempatkan pada area yang lingkungannya memang sudah agak-agak “panas”, seperti: ruang genset, basement, dapur-dapur foodcourt, gudang beratap asbes, bengkel las dan sejenisnya. Alasannya, jika pada area itu dipasang ROR, maka akan rentan terhadap False Alarm (Alarm Palsu), sebab hembusan panasnya saja sudah bisa menyebabkan ROR mendeteksi. Area efektif detektor jenis ini adalah 30m2 (pada ketinggian plafon 4m) atau 15m2 (untuk ketinggian plafon antara 4 – 8m). Seperti halnya ROR, kabel yang diperlukan untuk detector ini cuma 2, yaitu L dan LC, boleh terbalik dan bisa dipasang langsung pada panel alarm rumah merk apa saja. Sifat kontaknya adalah NO (Normally Open).


Fix Temperature Heat Detector

 

2.      Smoke Detector

Smoke detector adalah alat yang berfungsi mendeteksi asap. Ketika detector mendeteksi asap maka detektor akan segera mengirimkan sinyal sehingga fire alarm berbunyi. Smoke detektor sendiri memiliki beberapa type kerja :

·  Photoelectric / optical yaitu mendeteksi asap menggunakan sensor cahaya. cahaya (infra red) diarahkan ke sensor photoelectric, apabila ada asap maka cahaya tidak sepenuhnya diterima sensor photoelectric. kejadian ini ditangkap sebagai sinyal yang kemudian diteruskan ke fire alarm. Dari pengalaman lapangan diketahui kelemahan dari detektor ini adalah sering kali menimbulkan false alarm yang diakibatkan oleh debu.

·  Ionization yaitu detektor model ini menggunakan metode ionization chamber. kelemahan dari detektor ini adalah setelah habis umur pakainya, detektor dikategorikan limbah radioaktif, karena didalam detektor ini terdapat ameresium.


Jual Photoelectric Smoke Detector AHS-871 Horing Lih - Kota ...

 

3.      Flame Detector

Flame Detector adalah alat yang sensitif terhadap radiasi sinar ultraviolet yang ditimbulkan oleh nyala api. Tetapi detector ini tidak bereaksi pada lampu ruangan, infra merah atau sumber cahaya lain yang tidak ada hubungannya dengan nyala api (flame).

 

Flame detector memiliki tiga jenis type yaitu sensor optik, ionisasi dan thermocouple.


Flame Detectors: Ultra Fast UV-IR Flame Detector 40-40-UFLX5200 Det-Tronics UVIR Flame Detector (008504001) - Worldeyecam

 

4.      Gas Detector

Sesuai dengan namanya detector ini mendeteksi kebocoran gas yang kerap terjadi di rumah tinggal. Alat ini bisa mendeteksi dua jenis gas, yaitu:

·      LPG : Liquefied Petroleum Gas.

·      LNG : Liquefied Natural Gas.

Dari dua jenis gas tersebut, Elpiji-lah yang paling banyak digunakan di rumah-rumah. Perbedaan LPG dengan LNG adalah: Elpiji lebih berat daripada udara, sehingga apabila bocor, gas akan turun mendekati lantai (tidak terbang ke udara). Sedangkan LNG lebih ringan daripada udara, sehingga jika terjadi kebocoran, maka gasnya akan terbang ke udara. Perbedaan sifat gas inilah yang menentukan posisi detector.

 

Untuk LPG, maka letak detector adalah di bawah, yaitu sekitar 30 cm dari lantai dengan arah detector menghadap ke atas. Hal ini dimaksudkan agar saat bocor, gas elpiji yang turun akan masuk ke dalam ruang detector sehingga dapat terdeteksi. Jarak antara detector dengan sumber kebocoran tidak melebihi dari 4m.

 

Untuk LNG, maka pemasangan detectornya adalah tinggi di atas lantai, tepatnya 30cm di bawah plafon dengan posisi detector menghadap ke bawah. Sesuai dengan sifatnya, maka saat bocor gas ini akan naik ke udara sehingga bisa terdeteksi. Jarak dengan sumber kebocoran hendaknya tidak melebihi 8m.

 Jual Gas Detector Gs005 Banyumas , Jawa Tengah CV. Java Multi Mandiri

MCFA (Main Control Fire Alarm)

MCFA merupakan peralatan utama dari sistem protection. (Main Control Fire Alarm) atau disebut juga dengan Fire Alarm Control Panel (FACP),  berfungsi meneriman sinyal  masuk (input signal) dari detector dan komponen pendeteksi lainnya(Fixed Heat detector dan smoke detector).

Oleh karena sistem pemadam kebakaran merupakan komponen penting dalam menanggulangi bahaya kebakaran dan biaya instalasi serta perawatannya yang tidak sedikit maka sistem manajemen pencegahan bahaya kebakaran harus sudah dilaksanakan sejak dalam proses perancangan gedung tersebut. Dengan mempertimbangkan reka bentuk, bahan, dan akses masuk / keluar gedung, maka ketahanan gedung tersebut terhadap bahaya kebakaran dapat dipenuhi dengan biaya yang rasional.

Kelalaian dalam perancangan seringkali membuat gedung bertingkat menjadi perangkap maut bagi penghuninya. Selain dalam perencanaan, proses pembangunan pun tidak kalah pentingnya. Bahaya yang mungkin timbul pada saat konstruksi juga cukup besar, terutama dari penggunaan bahan – bahan yang mudah terbakar yang tidak dikendalikan dengan baik. Kasus sederhana yang sering terjadi adalah kebakaran akibat kelalaian pekerja yang membuang puntung rokok di tumpukan kertas kering bekas bekisting. Demikian pula pada masa penggunaan, bahaya bisa timbul akibat kurangnya pemeliharaan, adanya alih fungsi akses keluar / masuk, dan sebagainya. Apabila semua aspek ini ditinjau dan diintegrasikan ke dalam satu sistem manajemen, maka akan mempermudah dalam pencegahan bahaya kebakaran serta mengurangi kerugian yang ditimbulkan.

 Secutron Fire Alarm • Bromindo


Bahaya Akibat Kebakaran

Terjadinya api selalu bersumber pada tiga hal, yaitu: adanya sumber nyala (ignitor), adanya bahan bakar (fuel), dan adanya oksigen. Apabila ketiga hal ini ada secara bersamaan maka risiko terjadinya kebakaran menjadi semakin besar. Rata – rata ketiga hal tersebut selalu ada di dalam bangunan gedung.

Ada 5 produk hasil dari sebuah pembakaran yakni gas hasil pembakaran, nyala api (flame), panas (heat), asap (smoke), dan pengurangan kadar oksigen. Kelima produk pembakaran ini akan sangat berpengaruh secara fisiologis terhadap kehidupan. Namun yang paling penting adalah pengaruh terbakar dan keracunan. Penyelidikan  terhadap  kebakaran menunjukkan bahwa selama terjadi kebakaran dihasilkan sejumlah gas beracun, dengan tingkat toksisitas yang rendah sampai yang mematikan, antara lain karbon monoksida, karbondioksida, hidrogensulfida, sulfur- dioksida, ammonia, hidrogensianida, nitrogendioksida, acrylicaldehid, dan phosgene.

Terbakarnya bahan bakar dengan kandungan oksigen yang cukup, biasanya menghasilkan sesuatu yang terang yang disebut “nyala api” (flame). Dengan hembusan angin yang kencang nyala api ini dapat menyebar jauh dari sumber api itu sendiri dan mengakibatkan kebakaran di tempat yang lain serta apabila mengenai korban akan mengakibatkan luka bakar. Kebakaran yang terjadi di gedung perkantoran atau rumah, panas yang dihasilkan akan berpengaruh sekali terhadap kesehatan, dari yang ringan sampai meninggal dunia.

Terperangkap pada suatu ruang dengan panas tinggi akan menyebabkan tubuh mengalami dehidrasi hebat. Panas juga akan mengakibatkan meningkatnya denyut jantung secara drastis. Apabila pengaruh panas tersebut sudah tidak dapat diatasi lagi, maka si korban akan meninggal dunia. Asap, yang merupakan partikel-partikel kecil dalam ukuran mikron juga dapat sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Penyebaran asap yang lebih cepat dari sebaran kebakaran (fire spread) akan dapat berfungsi sebagai peringatan dini. Namun di sisi lain asap akan dapat menimbulkan kepanikan, stress dan kehilangan kontrol, sehingga menimbulkan kerugian sebelum kebakaran benar- benar menyebar.Partikel asap dalam jumlah yang cukup banyak,akan mengakibatkan iritasi di mata dan terpapar asap untuk jangka waktu yang lama mungkin akan mempengaruhi pernapasan. Munculnya gas beracun dan asap  pada  suatu ruangan yang terbakar akan menimbulkan kehilangan orientasi. Jika turun lebih rendah lagi ke angka 14-10 persen, korban mulai kehilangan kepercayaan diri dan menjadi sangat capai.Pada konsentrasi 10 sampai 6 persen, korban akan pingsan tak sadarkan diri. Selain nyawa manusia, kebakaran tentu juga akan membawa kerugian material.

 

Kategori Bahaya (Hazard Categories)

Secara umum ada dua kategori bahaya (hazard) yang timbul karena bencana kebakaran.

1. Internal Hazard

Internal Hazard adalah bahaya yang berlaku di dalam sebuah bangunan. Bahaya ini terbagi lagi menjadi 2, yaitu:

1.

Personal hazard

:

Bahaya yang berlaku bagi penghuni gedung tersebut

2.

Damage hazard

:

Bahaya yang mengancam struktur bangunan maupun isi bangunan tersebut.

 

2.  External Hazard (exposure hazard)

External Hazard adalah bahaya yang mengancam lingkungan / bangunan lain di sekitar bangunan yang terbakar.

Sebagaimana telah disinggung di bagian pendahuluan tulisan ini, risiko terjadinya bahaya kebakaran tentu akan naik seiring dengan ketinggian bangunan tersebut. Namun tentunya hal ini juga bergantung kepada fungsi bangunannya. Berdasarkan fungsi bangunannya, maka bahaya kebakaran dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:

 

1.  Extra Light Hazard : Fungsi bangunannya sebagai non-industrial, dimana jumlah kandungan bahan yang      mudah terbakar adalah rendah.

Contoh

:

Rumah Sakit, Apartemen, Hotel, Museum, Perpustakaan, Perkantoran, Penjara, Bangunan Kampus, bandar udara, dsb

 

2.  Ordinary Hazard : Fungsi bangunannya adalah sebagai area komersial dan industrial yang melibatkan namun tidak terbatas pada : pengendalian, pemrosesan,  dan penyimpanan bahan mudah terbakar tetapi tidak mudah tersulut dan terbakar hebat ketika terpapar oleh api kecil.

 

Faktor Pencetus Risiko Kebakaran pada Bangunan Bertingkat

Besarnya risiko bahaya kebakaran pada bangunan tinggi dapat diakibatkan oleh faktor teknis maupun non-teknis. Faktor teknis diantaranya adalah :

  1. Bangunan yang tidak memiliki akses keluar / masuk yang mudah sehingga menyulitkan penggunanya untuk melarikan diri dalam keadaan darurat. Contoh: tidak memiliki tangga darurat, atau jalur evakuasi tertutup oleh tumpukan barang / material.
  2. Bangunan yang tidak dilengkapi alat pemadam kebakaran ataupun tidak cukup (insufficient) dalam menyediakan peralatan pemadam kebakaran. Contoh: gedung tidak memiliki hydrant, tidak memiliki pemercik (sprinkler).
  3. Bangunan yang dilengkapi dengan alat pemadam kebakaran, namun tidak dilakukan pemeliharaan berkala sehingga alat pemadam tersebut tidak dapat difungsikan / berfungsi dengan baik dalam keadaan darurat. Contoh: ada hydrant namun tidak berfungsi, ada alarm kebakaran namun tidak dapat mendeteksi asap, disediakan alat pemadam api ringan (APAR) namun tekanan dalam tabungnya tidak memadai.
  4. Bangunan yang tidak / kurang memiliki arahan / petunjuk / rambu yang memberikan informasi kepada penggunanya mengenai jalur – jalur evakuasi, perletakan peralatan pemadam api, maupun peringatan adanya bahan – bahan yang mudah terbakar, dan rambu lain yang relevan. Contoh: tidak ada penunjuk jalur – jalur evakuasi, minimnya petunjuk posisi alat pemadam api.
  5. Bangunan yang desainnya mudah dalam menjalarkan api baik karena penggunaan bahannya maupun sifat desain struktur / arsitekturnya memungkinkan api untuk menjalar dengan cepat. Contoh: penggunaan unsur kayu pada arsitektur gedung, gedung memiliki struktur inti (core structure) dimana semua akses termasuk tangga & elevator berada pada pusat gedung sehingga menyulitkan evakuasi mereka yang tinggal di atas lantai yang terbakar, banyaknya shaft – shaft yang memungkinkan penyebaran api dengan cepat.
  6. Bangunan yang memiliki terlalu banyak penghuni sehingga sulit bagi mereka untuk melarikan diri dalam keadaan darurat. Contoh: Rumah susun dengan penghuni melebihi kapasitas.
  7. Bangunan yang dibuat dengan spesifikasi teknis lebih rendah dari standar yang berlaku. Contoh: penggunaan kabel / penghantar arus listrik dengan ukuran yang lebih kecil dari seharusnya, pemutus arus (circuit breaker) yang lebih besar dari yang seharusnya terpasang sehingga menyebabkan panas berlebih pada kawat penghantar.
  8. Bangunan yang diubah fungsinya sehingga menjadi rentan dalam bahaya kebakaran. Contoh: bangunan sebagai rumah tinggal beralih fungsi menjadi bengkel.

Adapun faktor non-teknis kebanyakan diakibatkan oleh kelalaian manusia (human error) terutama yang berkenaan dengan penggunaan api seperti memasak, merokok, menyalakan lilin, menyalakan obat nyamuk bakar, dan lain sebagainya. Kelalaian tersebut pada umumnya disebabkan oleh:

1.  Faktor Pengguna Gedung

  • Tidak tahu / kurang mengetahui prinsip dasar pencegahan / penanggulangan bahaya kebakaran.
  • Meletakkan barang-barang yang mudah terbakar tanpa menghiraukan norma-norma pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran.
  • Pemakaian listrik yang belebihan, melebihi kapasitas.
  • Menyalakan api ditempat terlarang / membuang puntung rokok sembarangan.
  • Adanya unsur kesengajaan.

2.  Faktor Manajemen / Pengelola Gedung

  • Tidak ada / kurang komitmennya terhadap K3.
  • Kurang pengawasan terhadap kegiatan pengguna gedung.
  • Tidak ada standar kode yang dapat diandalkan atau penerapannya tidak tegas atau sengaja menggunakan barang – barang sub-standard dengan motif ekonomi.
  • Sistem penanggulangan kebakaran tidak memadai
  • Tidak dilakukan pelatihan penanggulangan bahaya kebakaran bagi pengguna gedung.
  • Sarana proteksi kebakaran tidak ada atau kurang

Semua risiko tersebut harus diidentifikasi kemudian dikendalikan sehingga jangan sampai timbul kerugian di saat terjadi bencana kebakaran.

 

Prinsip – prinsip Sistem Manajemen

Dalam beberapa tahun terakhir, telah banyak sistem manajemen dikembangkan yang mana beberapa diantaranya dapat digunakan sebagai panduan untuk membantu dalam penyusunan sistem manajemen pencegahan bahaya kebakaran pada gedung tinggi. Sebagai dasar sistem manajemen, biasanya digunakan Sistem Manajemen Mutu ISO 9001 dan Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001. Badan – badan sertifikasi sistem manajemen mutu kemudian menciptakan OHSAS 18001 yaitu Occupational Health dan Safety Assessment Series yang bersesuaian dengan sistem manajemen ISO 9001 maupun ISO 14001.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Sistem Manajemen Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Gedung bertingkat adalah bagian dari sistem manajemen keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan; tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses dan sumber daya yang dibutuhkan bagi pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan Penanggulangan Kebakaran dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif.

Tujuan dari Sistem Manajemen Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Gedung bertingkat adalah menyediakan suatu kerangka kerja untuk pengelolaan jangka pendek maupun jangka panjang tentang penanggulangan kebakaran, baik mengenai program – program, permasalahan dan lain-lain, yang disesuaikan dengan kebutuhan dan persyaratan-persyaratan tempat kerja. Sistem Manajemen Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Gedung bertingkat menjamin bahwa tempat kerja dirancang-bangun, didirikan dan dioperasikan dalam keadaan aman kebakakaran dan hasil-hasil produksi dikembangkan, diproduksi, diang­kut dan dipasarkan dengan memperhatikan faktor keselamatan dan aman kebakaran serta sumber-sumber alam dikelola secara aman dan berwawasan lingkungan.

 

Siklus Manajemen

Dalam sistem manajemen ada tahapan – tahapan yang dibuat untuk menjamin bahwa sistem manajemen tersebut tetap valid sesuai dengan perkembangan yang terjadi. Siklus tersebut biasa dikenal dengan siklus PDCA yang merupakan singkatan dari Plan (perencanaan) – Do (pelaksanaan) – Check (pemeriksaan) – Act (pengambilan tindakan). Sistem manajemen pencegahan kebakaran gedung tinggi pun tidak lepas dari siklus ini. PDCA ini dijelaskan sebagai berikut:

Plan

:

Pada tahap ini, perencanaan sistem manajemen harus dibuat standarnya yang menggambarkan kesesuaian pada peraturan yang berlaku dan menghitung risiko – risiko yang mungkin terjadi serta mewujudkannya dalam pelaksanaan.

Do

:

Dalam tahap ini, semua tujuan (objectives) dan rencana (plan) yang telah dibuat harus diimplementasikan secara keseluruhan.

Check

:

Setelah tahap pelaksanaan, maka harus dikaji ulang keefektifannya dan diperiksa apakah ada penyimpangan pada pelaksanaan terhadap rencana yang telah disusun di awal serta pada peraturan yang berlaku.

Act

:

Apabila ada temuan yang berupa penyimpangan, maka harus segera diambil tindakan untuk memastikan agar pelaksanaan selalu ada pada koridor yang telah ditentukan. Apabila tidak ada temuan yang mengindikasikan penyimpangan, maka sebaiknya digunakan sebagai acuan untuk meningkatkan (improving) sistem yang ada.

 

Sistem Manajemen Pencegahan Bahaya Kebakaran

Penerapan Sistem Manajemen Pencegahan Bahaya Kebakaran dimulai dari identifikasi sumber bahaya (hazard identification) dimana semua kemungkinan penyebab terjadinya kebakaran diidentifikasi. Tahap selanjutnya adalah penilaian risiko (risk assesment) yaitu dari semua skenario bencana yang diakibatkan oleh sumber penyebab kebakaran dinilai dampak keparahannya (severity rate) terhadap manusia, harta benda, dan lingkungan di sekitar terjadinya bencana terhadap probabilitas kekerapan (frequency) terjadinya bencana tersebut. Pengendalian risiko (risk control) kemudian dilakukan atas skenario – skenario mana saja yang mungkin terjadi. Pada umumnya berdasarkan asas Pareto, apabila skenario terburuk dapat dikendalikan risikonya maka skenario dengan tingkat keparahan di bawahnya dapat tereliminasi.

Namun pada kasus – kasus tertentu sebaiknya dibuat pengendalian risiko dengan lebih mendetail terutama bila menyangkut keselamatan orang banyak (public safety) ataupun pada bangunan – bangunan yang khusus seperti sekolah, rumah sakit, panti jompo, dan hotel disebabkan oleh pengguna bangunannya yang memiliki karakteristik khusus. Semua metode pencegahan bahaya kebakaran ini harus direncanakan, dilaksanaan, dimonitor dan dikaji ulang secara berkala untuk memastikan bahwa metode tersebut masih relevan dengan keadaan suatu gedung.

 

Identifikasi sumber bahaya (hazard identification)

Dari ketiga sumber penyebab api, pemantik dan bahan bakar bisa saja berasal dari bagian dari gedung itu sendiri sementara oksigen hampir selalu tersedia karena merupakan bagian dari udara yang ada di sekitar kita. Pada bangunan gedung sumber api atau pemantik (source of ignition) yang umum adalah:

  • Api terbuka (naked flame) seperti: nyala lilin, puntung rokok, korek api, kompor gas, alat las menggunakan gas, dsb.
  • Permukaan panas (hot surfaces) seperti: pemanas, boiler, lampu halogen, dsb.
  • Gesekan (friction) seperti: V-belt, kumparan motor, dsb.
  • Pekerjaan yang membutuhkan panas (hot work) seperti: mengelas, menggerinda, memotong dengan alat las.
  • Percikan api (sparks) seperti: listrik statis, hubungan arus pendek (short circuit), dsb.
  • Kesengajaan (arson) yaitu dengan sengaja melakukan pembakaran / sabotase.

Sumber bahan bakar (fuel) pada dasarnya adalah semua benda yang dapat terbakar. Beberapa contohnya antara lain:

  • Benda padat : kain, kayu, kertas, busa, plastik, dsb.
  • Benda cair : minyak tanah, spiritus, bahan pelarut seperti aseton, alkohol, dsb.
  • Benda gas : LPG, asetilen

Identifikasi sumber bahaya tidak sekedar mencantumkan bahaya yang nyata, namun juga harus mengikut-sertakan sumber – sumber bahaya yang sifatnya potensial seperti kemungkinan suatu material mengeluarkan asap beracun ketika terbakar.

 

Identifikasi orang – orang yang terkena dampak (People at risk)

Apabila sampai terjadi kebakaran, maka bahaya yang paling besar adalah apabila api, panas, dan asap menyebar / menjalar ke bagian – bagian lain dari gedung. Asap biasanya yang paling cepat dan mudah menyebar dan dapat mengganggu orang – orang lain yang sedang berusaha untuk menyelamatkan diri. Bahan – bahan tertentu dapat menimbulkan asap beracun apabila terbakar dan hal ini tentu memperburuk keadaan evakuasi.

Apabila sebuah gedung tidak memiliki akses darurat yang cukup atau api membesar dengan cepat dan tidak terkendali sebelum dapat diketahui maka penghuni gedung dapat terjebak dan dapat menjadi korban, baik dari api itu sendiri, maupun dari hawa panas dan asap yang terjadi.

Untuk itu dalam sebuah asesmen terhadap bahaya kebakaran perlu juga dipertimbangkan hal – hal berikut ini:

  • Kemungkinan api membesar dan menjalar termasuk hawa panas dan asap yang dihasilkan. Harus diingat bahwa bahan bakar tertentu dapat menghasilkan panas yang lebih tinggi dan asap yang lebih membahayakan dari bahan yang lainnya.
  • Jumlah orang yang terdampak, termasuk pengelola gedung, pengunjung, maupun orang – orang lain yang mungkin ada di dalam gedung tersebut.
  • Pengaturan pemberitahuan tentang adanya kebakaran kepada seluruh pengguna gedung.
  • Akses bagi pengguna gedung untuk menyelamatkan diri, dan akses bagi petugas pemadam kebakaran untuk masuk pada saat terjadi kebakaran.

 

Mengevaluasi dan Mengendalikan Risiko

Segera setelah sumber bahaya dan orang – orang yang terdampak diketahui dan diidentifikasi, maka langkah selanjutnya adalah mengevaluasi efek dari setiap sumber bahaya dengan memperhitungkan cara – cara pengendalian risiko yang sudah ada. Setelah hal ini dilaksanakan, maka harus ditentukan apakah cara – cara pengendalian risiko yang telah ada tersebut masih memadai atau harus diperbaiki untuk mengurangi risiko sehingga berada pada ambang yang dapat diterima.

Pada dasarnya ada dua langkah yang dapat diambil untuk mengendalikan risiko bahaya kebakaran. Langkah – langkah tersebut adalah :

1.

Pencegahan Pasif

:

Pencegahan pasif adalah upaya untuk mencegah kebakaran dengan memanfaatkan rekabentuk suatu gedung untuk mencegah timbulnya api atau menghambat penyebaran api. Langkah ini harus diambil pada saat perencanaan suatu gedung dengan jalan antara lain:

  • Memberikan jarak yang cukup antar gedung untuk mencegah penjalaran api.
  • Membuat sistem struktur yang mempersulit terjadinya penjalaran api.
  • Menggunakan bahan – bahan yang tidak mudah terbakar dan menjalarkan api atau setidaknya memilih bahan yang tidak mendatangkan bahaya lain seperti hawa panas yang tinggi ataupun asap beracun sekiranya bahan tersebut terbakar.
  • Sistem penghawaan yang baik sehingga memudahkan gas maupun asap untuk segera keluar dari gedung dan tidak memperburuk risiko saat terjadi kebakaran.
  • Penyediaan jalur evakuasi yang memadai.

2.

Pencegahan Aktif

:

Pencegahan secara aktif yaitu dengan menyediakan alat – alat pemadam kebakaran dan pencegahan kebakaran pada suatu gedung. Peralatan tambahan tersebut dapat berupa tanda bahaya kebakaran (fire alarm), pendeteksi asap (smoke detector), keran hydrant, pemercik (sprinkler), dsb.

 

Dalam menetapkan langkah untuk mencegah bahaya kebakaran sebaiknya mengikuti cara – cara dibawah ini agar diperoleh langkah yang paling efektif dan efisien :

1.

Eliminasi

:

Menghilangkan secara total sumber – sumber bahaya yang mengancam. Misalnya dengan memindahkan sumber bahan bakar atau sumber pemantik ke tempat lain.

2.

Subsitusi

:

Mengganti sumber bahaya dengan bahan lain sehingga menghilangkan atau setidaknya mengurangi risiko yang timbul, misalnya dengan mengganti bahan yang mudah terbakar dengan bahan lain yang sulit terbakar, atau mengganti bahan bakar dengan bahan bakar yang lambat terbakar (slow burning fuel)

3.

Regulasi

:

Melakukan kontrol secara ketat terhadap barang – barang yang mudah terbakar ataupun menerapkan prosedur operasi standar dalam penggunaan bahan – bahan yang menjadi sumber bahaya dan ketika berada di dalam keadaan bahaya. Misalnya penggunaan sistem LOTO (lock out and tag out) pada katup – katup gas, mengadakan pelatihan penanggulangan bahaya kebakaran yang wajib diikuti oleh pengguna gedung.

4.

Proteksi

:

Melakukan perlindungan terhadap bahaya kebakaran dengan menyediakan alat pencegah kebakaran dan alat pelindung diri pada gedung. Misalnya dengan pemasangan hydrant, pemasangan APAR, dan lain sebagainya.

 

Dalam menghilangkan risiko langkah – langkah tersebut dapat dipilih yang paling sesuai atau bisa jadi ada lebih dari satu langkah untuk mencegah terjadinya kebakaran yang disebabkan oleh satu jenis sumber bahaya tertentu. Apabila terlihat adanya satu kekurangan dalam upaya pencegahan kebakaran, maka langkah – langkah untuk memperbaiki kekurangan tersebut harus diambil termasuk penentuan siapa yang bertanggung jawab untuk melakukan perbaikan tersebut dan waktu yang diperlukan untuk pelaksanaan perbaikan sehingga tercapai risiko yang dapat dikendalikan dan dalam ambang yang dapat diterima.

Apabila sebuah gedung relatif baru dan modern, maka pada umumnya sistem manajemen pencegahan kebakaran telah diimplementasikan. Namun tidak menutup kemungkinan sistem tersebut diaplikasikan pada gedung – gedung tua yang dibangun sebelum undang – undang atau peraturan tentang pencegahan bahaya kebakaran dibuat. Apabila gedung tersebut termasuk di dalam gedung dengan risiko kebakaran yang cukup tinggi maka perlu dibuat rencana mitigasi bencana harus dibuat dengan lebih mendetail.

Pencatatan Temuan (Records of Findings)

Apabila dalam penerapan sistem manajemen pencegahan bahaya kebakaran gedung ditemukan sesuatu yang harus menjadi perhatian, maka temuan tersebut harus dikomunikasikan kepada semua pemangku kepentingan. Sistem manajeman pencegahan bahaya kebakaran harus dapat diakses oleh semua orang terutama bagi mereka yang memiliki risiko terkena dampaknya.

Temuan tersebut harus mengindikasikan apakah langkah – langkah yang ditempuh sudah memadai dalam pencegahan bahaya kebakaran, dan apabila belum apakah sudah ada usaha untuk memperbaikinya, siapa yang bertanggung jawab, dan kapan tenggat waktu perbaikan terhadap sistem tersebut harus sudah selesai dilaksanakan.

Metode – metode pencegahan kebakaran, dan informasi – informasi penting mengenai cara – cara evakuasi harus tersedia dan dapat diketahui oleh semua orang, misalnya dengan membuat peta evakuasi yang diletakkan pada tempat – tempat yang mudah dilihat, peletakan APAR / hydrant pada lokasi – lokasi yang mudah dijangkau dsb.

 

 

Sumber Referensi :

PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 26/PRT/M/2008 TANGGAL 30 DESEMBER 2008 TENTANG PERSYARATAN TEKNIS SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN PADA BANGUNAN GEDUNG DAN LINGKUNGAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2002 TENTANG BANGUNAN GEDUNG

Ambar Kristiyanto (2012), Evaluasi Sistem Manajemen Kebakaran Gedung Rektorat Universitas Brawijaya, Erudio Vol. 1 No. 1 Desember 2012

Andrew Furness, Martin Muckett (2007) Introduction to Fire Safety Management, Oxford, Elsevier.

Arief Setyawan, Endo Wijaya Kartika, Studi Eksploratif Tingkat Kesadaran Penghuni Gedung Bertingkat  Terhadap Bahaya Kebakaran: Studi Kasus di Universitas Kristen Petra Surabaya, Surabaya, Univ. Kristen Petra.

BPSI Safety Training (2008), Sistem Manajemen Penanggulangan Kebakaran, Jakarta, BPSI.

London Fire Brigade (2013), Fire Assessment in Building, London, London Fire Brigade.

Ministry of Justice (2013), Fire Safety Planning for Construction and Demolition Sites, Victoria, Emergency Management British Columbia.

Muhadi (2008), Pencegahan Resiko Kebakaran Gedung: Peran Dan Tindakan Pusat Layanan Kebakaran Dan Pertolongan Département Rhone, Thesis, Semarang, Universitas Diponegoro.

National Fire Protection Association (2013), High-Rise Building Fires and Fire Safety, Boston, NFPA.

Saesario M.S. Indrawan, ST (2013) , Sistem Manajemen Pencegahan Kebakaran Gedung Tinggi