PENGETAHUAN
DASAR FIRE ALARM
Pembangunan yang pesat di Indonesia dewasa ini membuat
para penghuni dan pengguna gedung diharuskan memahami arti penting dari
keselamatan, utamanya dari ancaman bahaya kebakaran. Bangunan bertingkat tentu
memiliki jumlah penghuni ataupun pengguna yang tidak sedikit apalagi jika
bangunan tersebut berfungsi pula sebagai ruang publik. Dengan demikian
keselamatan para penggunanya tentu harus diutamakan dan tidak dapat diabaikan..
Bangunan bertingkat tentu memiliki jumlah penghuni ataupun pengguna yang tidak
sedikit apalagi jika bangunan tersebut berfungsi pula sebagai ruang publik.
Dengan demikian keselamatan para penggunanya tentu harus diutamakan dan tidak
dapat diabaikan.
Risiko yang sering muncul dalam pembangunan dan pengelolaan
gedung bertingkat adalah bahaya kebakaran. Untuk itu “Sytem Monitoring Program
Fire Alarm System” sebagai syarat “Sistem Manajemen Pencegahan Bahaya Kebakaran
Gedung Bertingkat” dan semoga juga dapat memberikan kontribusi untuk mengurangi
risiko bahaya kebakaran pada bangunan gedung bertingkat.
Api dapat menjadi teman sekaligus lawan bagi manusia. Dalam
keadaan terkendali, api sangatlah membantu untuk memberikan kemudahan dan
kenyamanan dalam hidup kita. Namun, apabila api ini tidak terkendali, maka api
dapat menjadi sumber bencana yang dapat mencelakakan bahkan bisa membawa
kematian. Pada bangunan gedung bertingkat dimana akses untuk menyelamatkan diri
adalah sedikit dan terbatas, maka perlu dilakukan tindakan – tindakan
pencegahan bahaya kebakaran yang efektif dan efisien dan terintegrasi dalam
satu sistem manajemen sehingga implementasi dan pembaharuannya dapat mengikuti
kebutuhan yang ada.
Hasil temuan menyatakan bahwa kebakaran di gedung bertingkat
lebih mematikan dan merugikan dibandingkan dengan dari lokasi-lokasi lain
dimana bencana kebakaran terjadi. Ditambah lagi penanganan kebakaran di lokasi
gedung bertingkat lebih menyulitkan dan berisiko tinggi. Sebuah data dikutip
dari National Academy of Sciences US (1986) mencatat bahwa 50% sampai 80%
kematian karena kebakaran disebabkan oleh racun asap yang keluar dari bencana
kebakaran.
Data lain menjelaskan bahwa asap merupakan pembunuh terbesar
dalam kejadian kebakaran. Sebanyak 72% korban kebakaran diakibatkan
oleh asap, maka dengan mudah asap dapat melampaui kecepatan jalan anak-anak,
wanita hamil dan orang – orang yang memiliki keterbatasan (disabled
people) pada saat dilakukan evakuasi. Fakta yang sama juga terjadi di
Indonesia, dimana kejadian kebakaran di gedung bertingkat juga sering terjadi.
Sebuah peristiwa kebakaran gedung bertingkat di kawasan kota Medan dimana
menelan 20 orang korban tewas meskipun terjadi di dalam lokasi sebuah
gedung berlantai empat saja. Diketahui sebagian besar korban tewas karena
menghirup asap hasil kebakaran ketika mereka kesulitan mencari jalan keluar
dari lokasi kebakaran di lantai tiga gedung tersebut.
Apabila bangunan sekelas Ruko saja apabila terbakar dapat
menghasilkan kerugian yang sedemikian hebat, bagaimana halnya dengan bangunan
bertingkat seperti di bandar udara. Menurut definisinya “bangunan bertingkat”
adalah bangunan yang memiliki minimal 2 lantai atau lebih. Semakin tinggi
bangunan tersebut tentu semakin besar pula risiko akibat bahaya kebakaran.
Jelas perlindungan terhadap bahaya kebakaran mutlak diperlukan pada bangunan
tinggi.
Karena ketinggian dan luas bangunan yang biasanya cukup
signifikan, maka penggunaan sistem pemadam kebakaran harus dipilih dengan tepat
agar mudah dan praktis dalam penggunaannya. Sistem Monitoring Program Fire
Alarm System yang digunakan di Bandar Udara sangatlah tepat, karena petugas
dapat lebih mudah memantau daerah suatu bangunan dan peralatan pencegahan
bahaya kebakaran yang terpasang di dalam gedung tersebut.
Pengertian
Fire Protection System (Sistem Fire Alarm)
Sistem fire protection atau disebut juga dengan sistem fire
alarm (sistem pengindra api) adalah suatu sistem terintegrasi yang didesain
untuk mendeteksi adanya gejala kebakaran, untuk kemudian memberikan peringatan
(warning) dalam sistem evakuasi dan ditindaklanjuti secara otomatis maupun
manual atau dengan sistem instalasi pemadam kebakaran (sistem Fire fighting).
Peralatan utama dari sistem protection ini adalah MCFA (Main Control Fire
Alarm) atau disebut juga dengan Fire Alarm Control Panel (FACP). MACP berfungsi
meneriman sinyal masuk (input signal) dari detector dan komponen pendeteksi
lainnya (Fixed Heat detector dan smoke detector).
Jenis Sistem Pendeteksi
Dalam prakteknya, ada 3 sistem pendetectian dari fire
protection ini, yaitu:
Non addresable System
Semi addresable System
Full Adresable System
Non addresable System
Sistem ini disebut juga dengan sistem konvensional. Pada
sistem inji MCFA menerima sinyal masukan langsung dari detector (biasanya
jumlahnya sangat terbatas) tanpa pengalamatan dan langsung
memerintahkan komponen outpu (keluaran) untuk merespon input
(masukan) tersebut. Sistem ini pada umumnya digunakan pada bangunan / area
supervisi berskala kecil, seperti perumahan, pertokoan, perkantoran, dan
lain-lain.
Semi Addresable System
Pada sistem ini dilakukan pengelompokan pada detector dan
alat penerima masukan (input) berdasarkan area pengawasan (supervisory area).
Masing-masing zona dikendalikan (baik input maupun output) oleh zona kontroler
yang mempunyai alamat/ adress yang spesifik. Pada saat detector atau alat penerima
masukan lainnya memberikan sinyal, maka MCFA akan meresponnya (I/O) berdasar
zona kontroler yang mengumpulkannya.
Dalam kontruksinya tiap zona dapat terdiri dari:
- Satu
lantai dalam bangunan / gedung
- Beberapa
ruangan yang berdekatan pada satu lantai di sebuah gedung
- Beberapa
ruangan yang mempunyai karakteristik tadi di sebuah gedung
Pada display MCFA akan terbaca alamat zona yang terjado
gejala kebakaran, sehingga dengan demikian tindakan yang harus diambil dapat
dilokalisir hanya pada zona tersebut.
Full Addresable System
Merupakan pengembangan dari sistem semi adresibble. Pada
system ini semua detector dan alat pemberi masukan (deteksi) mempunyai alamat
yang spesifik, sehingga proses pemadaman dan evakuasi dapat dilakukan langsung
pada titik yang diperkirakan mengalami kebakaran.
Peralatan Utama
Pendeteksi
Pendeteksi atau alat penerima input (masukan) yang bekerja
secara otomatis (automatic Input Device), yaitu:
1.
Heat Detektor
(Pengindra panas).
Berdasarkan cara kerjanya, heat detektor dibagi menjadi 2
jenis, yaitu:
a. ROR (Rate of Rise) Heat
Detector
Heat
detector adalah pendeteksi kenaikan panas. Jenis ROR adalah yang paling banyak
digunakan saat ini, karena selain ekonomis juga aplikasinya luas. Area deteksi
sensor bisa mencapai 50m2 untuk ketinggian plafon 4m. Sedangkan untukplafon
lebih tinggi, area deteksinya berkurang menjadi 30m2. Ketinggian pemasangan
max. hendaknya tidak melebihi 8m. ROR banyak digunakan karena detector ini
bekerja berdasarkan kenaikan temperatur secara cepat di satu ruangan kendati
masih berupa hembusan panas. Umumnya pada titik 55oC – 63oC sensor ini sudah
aktif dan membunyikan alarm bell kebakaran. Dengan begitu bahaya kebakaran
(diharapkan) tidak sempat meluas ke area lain. ROR sangat ideal untuk ruangan
kantor, kamar hotel, rumah sakit, ruang server,
ruang arsip, gudang pabrik dan lainnya.
Prinsip
kerja ROR sebenarnya hanya saklar bi-metal biasa. Saklar akan kontak saat
mendeteksi panas. Karena tidak memerlukan tegangan (supply), maka bisa dipasang
langsung pada panel alarm rumah. Dua kabelnya dimasukkan ke terminal Zone-Com
pada panel alarm. Jika dipasang pada panel Fire Alarm, maka terminalnya adalah
L dan LC. Kedua kabelnya boleh terpasang terbalik, sebab tidak memiliki
plus-minus. Sedangkan sifatkontaknya adalah NO (Normally Open).
b.
Fixed
Temperature Detector
Fixed Temperature
detector termasuk juga ke dalam Heat Detector. Berbeda dengan ROR, maka Fixed
Temperature detector baru mendeteksi pada derajat panas yang langsung tinggi.
Oleh karena itu cocok ditempatkan pada area yang lingkungannya memang sudah
agak-agak “panas”, seperti: ruang genset, basement, dapur-dapur foodcourt,
gudang beratap asbes, bengkel las dan sejenisnya. Alasannya, jika pada area itu
dipasang ROR, maka akan rentan terhadap False Alarm
(Alarm Palsu), sebab hembusan panasnya saja sudah bisa menyebabkan ROR
mendeteksi. Area efektif detektor jenis ini adalah 30m2 (pada ketinggian plafon
4m) atau 15m2 (untuk ketinggian plafon antara 4 – 8m). Seperti halnya ROR,
kabel yang diperlukan untuk detector ini cuma 2, yaitu L dan LC, boleh terbalik
dan bisa dipasang langsung pada panel alarm rumah merk apa saja. Sifat
kontaknya adalah NO (Normally Open).
2.
Smoke Detector
Smoke detector
adalah alat yang berfungsi mendeteksi asap. Ketika detector mendeteksi asap
maka detektor akan segera mengirimkan sinyal sehingga fire alarm berbunyi.
Smoke detektor sendiri memiliki beberapa type kerja :
·
Photoelectric / optical yaitu mendeteksi asap menggunakan sensor cahaya.
cahaya (infra red) diarahkan ke sensor photoelectric, apabila
ada asap maka cahaya tidak sepenuhnya diterima sensor photoelectric. kejadian
ini ditangkap sebagai sinyal yang kemudian diteruskan ke fire alarm. Dari
pengalaman lapangan diketahui kelemahan dari detektor ini adalah sering kali
menimbulkan false alarm yang diakibatkan oleh debu.
·
Ionization yaitu detektor model ini menggunakan metode ionization
chamber. kelemahan dari detektor ini adalah setelah habis umur pakainya,
detektor dikategorikan limbah radioaktif, karena didalam detektor ini terdapat
ameresium.
3.
Flame Detector
Flame Detector
adalah alat yang sensitif terhadap radiasi sinar ultraviolet yang ditimbulkan
oleh nyala api. Tetapi detector ini tidak bereaksi pada lampu ruangan, infra
merah atau sumber cahaya lain yang tidak ada hubungannya dengan nyala api
(flame).
Flame detector
memiliki tiga jenis type yaitu sensor optik, ionisasi dan thermocouple.
4.
Gas Detector
Sesuai dengan
namanya detector ini mendeteksi kebocoran gas yang kerap terjadi di rumah
tinggal. Alat ini bisa mendeteksi dua jenis gas, yaitu:
·
LPG : Liquefied Petroleum Gas.
·
LNG : Liquefied Natural Gas.
Dari dua jenis gas
tersebut, Elpiji-lah yang paling banyak digunakan di rumah-rumah. Perbedaan LPG
dengan LNG adalah: Elpiji lebih berat daripada udara, sehingga apabila bocor,
gas akan turun mendekati lantai (tidak terbang ke udara). Sedangkan LNG lebih ringan
daripada udara, sehingga jika terjadi kebocoran, maka gasnya akan terbang ke
udara. Perbedaan sifat gas inilah yang menentukan posisi detector.
Untuk LPG, maka
letak detector adalah di bawah, yaitu sekitar 30
cm dari lantai dengan arah detector menghadap ke atas. Hal ini dimaksudkan agar
saat bocor, gas elpiji yang turun akan masuk ke dalam ruang detector sehingga
dapat terdeteksi. Jarak antara detector dengan sumber kebocoran tidak melebihi dari
4m.
Untuk LNG, maka
pemasangan detectornya adalah tinggi di atas lantai, tepatnya 30cm di bawah
plafon dengan posisi detector menghadap ke bawah. Sesuai dengan sifatnya, maka
saat bocor gas ini akan naik ke udara sehingga bisa terdeteksi. Jarak dengan
sumber kebocoran hendaknya tidak melebihi 8m.
MCFA (Main Control Fire Alarm)
MCFA merupakan peralatan utama dari sistem protection. (Main
Control Fire Alarm) atau disebut juga dengan Fire Alarm Control Panel
(FACP), berfungsi meneriman sinyal masuk (input signal)
dari detector dan komponen pendeteksi lainnya(Fixed Heat detector dan smoke
detector).
Oleh karena sistem pemadam kebakaran merupakan komponen
penting dalam menanggulangi bahaya kebakaran dan biaya instalasi serta
perawatannya yang tidak sedikit maka sistem manajemen pencegahan bahaya
kebakaran harus sudah dilaksanakan sejak dalam proses perancangan gedung
tersebut. Dengan mempertimbangkan reka bentuk, bahan, dan akses masuk / keluar
gedung, maka ketahanan gedung tersebut terhadap bahaya kebakaran dapat dipenuhi
dengan biaya yang rasional.
Kelalaian dalam perancangan seringkali membuat gedung
bertingkat menjadi perangkap maut bagi penghuninya. Selain dalam perencanaan,
proses pembangunan pun tidak kalah pentingnya. Bahaya yang mungkin timbul pada
saat konstruksi juga cukup besar, terutama dari penggunaan bahan – bahan yang
mudah terbakar yang tidak dikendalikan dengan baik. Kasus sederhana yang sering
terjadi adalah kebakaran akibat kelalaian pekerja yang membuang puntung rokok
di tumpukan kertas kering bekas bekisting. Demikian pula pada masa penggunaan,
bahaya bisa timbul akibat kurangnya pemeliharaan, adanya alih fungsi akses
keluar / masuk, dan sebagainya. Apabila semua aspek ini ditinjau dan
diintegrasikan ke dalam satu sistem manajemen, maka akan mempermudah dalam
pencegahan bahaya kebakaran serta mengurangi kerugian yang ditimbulkan.
Bahaya Akibat
Kebakaran
Terjadinya api selalu bersumber pada tiga hal, yaitu: adanya
sumber nyala (ignitor), adanya bahan bakar (fuel), dan adanya
oksigen. Apabila ketiga hal ini ada secara bersamaan maka risiko terjadinya
kebakaran menjadi semakin besar. Rata – rata ketiga hal tersebut selalu ada di
dalam bangunan gedung.
Ada 5 produk hasil dari sebuah pembakaran yakni gas hasil
pembakaran, nyala api (flame), panas (heat), asap (smoke),
dan pengurangan kadar oksigen. Kelima produk pembakaran ini akan sangat
berpengaruh secara fisiologis terhadap kehidupan. Namun yang paling penting
adalah pengaruh terbakar dan keracunan. Penyelidikan terhadap
kebakaran menunjukkan bahwa selama terjadi kebakaran dihasilkan sejumlah gas
beracun, dengan tingkat toksisitas yang rendah sampai yang mematikan, antara
lain karbon monoksida, karbondioksida, hidrogensulfida, sulfur- dioksida,
ammonia, hidrogensianida, nitrogendioksida, acrylicaldehid, dan phosgene.
Terbakarnya bahan bakar dengan kandungan oksigen yang cukup,
biasanya menghasilkan sesuatu yang terang yang disebut “nyala api” (flame).
Dengan hembusan angin yang kencang nyala api ini dapat menyebar jauh dari
sumber api itu sendiri dan mengakibatkan kebakaran di tempat yang lain serta
apabila mengenai korban akan mengakibatkan luka bakar. Kebakaran yang terjadi
di gedung perkantoran atau rumah, panas yang dihasilkan akan berpengaruh sekali
terhadap kesehatan, dari yang ringan sampai meninggal dunia.
Terperangkap pada suatu ruang dengan panas tinggi akan
menyebabkan tubuh mengalami dehidrasi hebat. Panas juga akan mengakibatkan
meningkatnya denyut jantung secara drastis. Apabila pengaruh panas tersebut
sudah tidak dapat diatasi lagi, maka si korban akan meninggal dunia. Asap, yang
merupakan partikel-partikel kecil dalam ukuran mikron juga dapat sangat
berbahaya bagi kesehatan manusia. Penyebaran asap yang lebih cepat dari sebaran
kebakaran (fire spread) akan dapat berfungsi sebagai peringatan dini.
Namun di sisi lain asap akan dapat menimbulkan kepanikan, stress dan kehilangan
kontrol, sehingga menimbulkan kerugian sebelum kebakaran benar- benar
menyebar.Partikel asap dalam jumlah yang cukup banyak,akan mengakibatkan
iritasi di mata dan terpapar asap untuk jangka waktu yang lama mungkin akan
mempengaruhi pernapasan. Munculnya gas beracun dan asap pada suatu
ruangan yang terbakar akan menimbulkan kehilangan orientasi. Jika turun lebih
rendah lagi ke angka 14-10 persen, korban mulai kehilangan kepercayaan diri dan
menjadi sangat capai.Pada konsentrasi 10 sampai 6 persen, korban akan
pingsan tak sadarkan diri. Selain nyawa manusia, kebakaran tentu juga akan
membawa kerugian material.
Kategori Bahaya (Hazard Categories)
Secara umum ada dua kategori bahaya (hazard) yang timbul
karena bencana kebakaran.
1. Internal Hazard
Internal Hazard adalah bahaya yang berlaku di
dalam sebuah bangunan. Bahaya ini terbagi lagi menjadi 2, yaitu:
1. |
Personal hazard |
: |
Bahaya yang berlaku bagi penghuni gedung tersebut |
2. |
Damage hazard |
: |
Bahaya yang mengancam struktur bangunan maupun isi
bangunan tersebut. |
2. External Hazard (exposure hazard)
External Hazard adalah bahaya yang mengancam lingkungan /
bangunan lain di sekitar bangunan yang terbakar.
Sebagaimana telah disinggung di bagian pendahuluan tulisan
ini, risiko terjadinya bahaya kebakaran tentu akan naik seiring dengan
ketinggian bangunan tersebut. Namun tentunya hal ini juga bergantung kepada
fungsi bangunannya. Berdasarkan fungsi bangunannya, maka bahaya kebakaran dapat
diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu:
1. Extra Light Hazard : Fungsi bangunannya sebagai non-industrial, dimana
jumlah kandungan bahan yang mudah terbakar adalah rendah.
Contoh |
: |
Rumah Sakit, Apartemen, Hotel, Museum, Perpustakaan,
Perkantoran, Penjara, Bangunan Kampus, bandar udara, dsb |
2. Ordinary Hazard :
Fungsi bangunannya adalah sebagai area komersial dan industrial yang melibatkan
namun tidak terbatas pada : pengendalian, pemrosesan, dan penyimpanan
bahan mudah terbakar tetapi tidak mudah tersulut dan terbakar hebat ketika
terpapar oleh api kecil.
Faktor Pencetus Risiko Kebakaran pada Bangunan Bertingkat
Besarnya risiko bahaya kebakaran pada bangunan tinggi dapat
diakibatkan oleh faktor teknis maupun non-teknis. Faktor teknis diantaranya
adalah :
- Bangunan
yang tidak memiliki akses keluar / masuk yang mudah sehingga menyulitkan
penggunanya untuk melarikan diri dalam keadaan darurat. Contoh: tidak
memiliki tangga darurat, atau jalur evakuasi tertutup oleh tumpukan barang
/ material.
- Bangunan
yang tidak dilengkapi alat pemadam kebakaran ataupun tidak cukup (insufficient)
dalam menyediakan peralatan pemadam kebakaran. Contoh: gedung tidak
memiliki hydrant, tidak memiliki pemercik (sprinkler).
- Bangunan
yang dilengkapi dengan alat pemadam kebakaran, namun tidak dilakukan
pemeliharaan berkala sehingga alat pemadam tersebut tidak dapat
difungsikan / berfungsi dengan baik dalam keadaan darurat. Contoh:
ada hydrant namun tidak berfungsi, ada alarm kebakaran
namun tidak dapat mendeteksi asap, disediakan alat pemadam api ringan
(APAR) namun tekanan dalam tabungnya tidak memadai.
- Bangunan
yang tidak / kurang memiliki arahan / petunjuk / rambu yang memberikan
informasi kepada penggunanya mengenai jalur – jalur evakuasi, perletakan
peralatan pemadam api, maupun peringatan adanya bahan – bahan yang mudah
terbakar, dan rambu lain yang relevan. Contoh: tidak ada penunjuk jalur –
jalur evakuasi, minimnya petunjuk posisi alat pemadam api.
- Bangunan
yang desainnya mudah dalam menjalarkan api baik karena penggunaan bahannya
maupun sifat desain struktur / arsitekturnya memungkinkan api untuk
menjalar dengan cepat. Contoh: penggunaan unsur kayu pada arsitektur
gedung, gedung memiliki struktur inti (core structure) dimana semua
akses termasuk tangga & elevator berada pada pusat gedung sehingga
menyulitkan evakuasi mereka yang tinggal di atas lantai yang terbakar,
banyaknya shaft – shaft yang memungkinkan penyebaran api
dengan cepat.
- Bangunan
yang memiliki terlalu banyak penghuni sehingga sulit bagi mereka untuk
melarikan diri dalam keadaan darurat. Contoh: Rumah susun dengan penghuni
melebihi kapasitas.
- Bangunan
yang dibuat dengan spesifikasi teknis lebih rendah dari standar yang
berlaku. Contoh: penggunaan kabel / penghantar arus listrik dengan ukuran
yang lebih kecil dari seharusnya, pemutus arus (circuit breaker)
yang lebih besar dari yang seharusnya terpasang sehingga menyebabkan panas
berlebih pada kawat penghantar.
- Bangunan
yang diubah fungsinya sehingga menjadi rentan dalam bahaya kebakaran.
Contoh: bangunan sebagai rumah tinggal beralih fungsi menjadi bengkel.
Adapun faktor non-teknis kebanyakan diakibatkan oleh
kelalaian manusia (human error) terutama yang berkenaan dengan penggunaan
api seperti memasak, merokok, menyalakan lilin, menyalakan obat nyamuk bakar,
dan lain sebagainya. Kelalaian tersebut pada umumnya disebabkan oleh:
1. Faktor Pengguna Gedung
- Tidak
tahu / kurang mengetahui prinsip dasar pencegahan / penanggulangan bahaya
kebakaran.
- Meletakkan
barang-barang yang mudah terbakar tanpa menghiraukan norma-norma
pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran.
- Pemakaian
listrik yang belebihan, melebihi kapasitas.
- Menyalakan
api ditempat terlarang / membuang puntung rokok sembarangan.
- Adanya
unsur kesengajaan.
2. Faktor Manajemen /
Pengelola Gedung
- Tidak
ada / kurang komitmennya terhadap K3.
- Kurang
pengawasan terhadap kegiatan pengguna gedung.
- Tidak
ada standar kode yang dapat diandalkan atau penerapannya tidak tegas atau
sengaja menggunakan barang – barang sub-standard dengan motif ekonomi.
- Sistem
penanggulangan kebakaran tidak memadai
- Tidak
dilakukan pelatihan penanggulangan bahaya kebakaran bagi pengguna gedung.
- Sarana
proteksi kebakaran tidak ada atau kurang
Semua risiko tersebut harus diidentifikasi kemudian
dikendalikan sehingga jangan sampai timbul kerugian di saat terjadi bencana
kebakaran.
Prinsip – prinsip Sistem Manajemen
Dalam beberapa tahun terakhir, telah banyak sistem manajemen
dikembangkan yang mana beberapa diantaranya dapat digunakan sebagai panduan
untuk membantu dalam penyusunan sistem manajemen pencegahan bahaya kebakaran
pada gedung tinggi. Sebagai dasar sistem manajemen, biasanya digunakan Sistem
Manajemen Mutu ISO 9001 dan Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001. Badan –
badan sertifikasi sistem manajemen mutu kemudian menciptakan OHSAS 18001
yaitu Occupational Health dan Safety Assessment Series yang
bersesuaian dengan sistem manajemen ISO 9001 maupun ISO 14001.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Sistem Manajemen
Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Gedung bertingkat adalah bagian dari sistem
manajemen keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan; tanggung
jawab, pelaksanaan, prosedur, proses dan sumber daya yang dibutuhkan bagi
pengembangan, penerapan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan
Penanggulangan Kebakaran dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan
kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif.
Tujuan dari Sistem Manajemen Pencegahan Bahaya Kebakaran
pada Gedung bertingkat adalah menyediakan suatu kerangka kerja untuk
pengelolaan jangka pendek maupun jangka panjang tentang penanggulangan
kebakaran, baik mengenai program – program, permasalahan dan lain-lain, yang
disesuaikan dengan kebutuhan dan persyaratan-persyaratan tempat kerja. Sistem
Manajemen Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Gedung bertingkat menjamin bahwa
tempat kerja dirancang-bangun, didirikan dan dioperasikan dalam keadaan aman
kebakakaran dan hasil-hasil produksi dikembangkan, diproduksi, diangkut dan
dipasarkan dengan memperhatikan faktor keselamatan dan aman kebakaran serta
sumber-sumber alam dikelola secara aman dan berwawasan lingkungan.
Siklus Manajemen
Dalam sistem manajemen ada tahapan – tahapan yang dibuat
untuk menjamin bahwa sistem manajemen tersebut tetap valid sesuai dengan
perkembangan yang terjadi. Siklus tersebut biasa dikenal dengan siklus PDCA
yang merupakan singkatan dari Plan (perencanaan) – Do (pelaksanaan)
– Check (pemeriksaan) – Act (pengambilan
tindakan). Sistem manajemen pencegahan kebakaran gedung tinggi pun tidak lepas
dari siklus ini. PDCA ini dijelaskan sebagai berikut:
Plan |
: |
Pada tahap ini, perencanaan sistem manajemen harus dibuat
standarnya yang menggambarkan kesesuaian pada peraturan yang berlaku dan
menghitung risiko – risiko yang mungkin terjadi serta mewujudkannya dalam
pelaksanaan. |
Do |
: |
Dalam tahap ini, semua tujuan (objectives) dan
rencana (plan) yang telah dibuat harus diimplementasikan secara
keseluruhan. |
Check |
: |
Setelah tahap pelaksanaan, maka harus dikaji ulang
keefektifannya dan diperiksa apakah ada penyimpangan pada pelaksanaan
terhadap rencana yang telah disusun di awal serta pada peraturan yang
berlaku. |
Act |
: |
Apabila ada temuan yang berupa penyimpangan, maka harus
segera diambil tindakan untuk memastikan agar pelaksanaan selalu ada pada
koridor yang telah ditentukan. Apabila tidak ada temuan yang mengindikasikan
penyimpangan, maka sebaiknya digunakan sebagai acuan untuk meningkatkan (improving)
sistem yang ada. |
Sistem Manajemen Pencegahan Bahaya Kebakaran
Penerapan Sistem Manajemen Pencegahan Bahaya Kebakaran
dimulai dari identifikasi sumber bahaya (hazard
identification) dimana semua kemungkinan penyebab terjadinya kebakaran
diidentifikasi. Tahap selanjutnya adalah penilaian risiko (risk
assesment) yaitu dari semua skenario bencana yang diakibatkan oleh sumber
penyebab kebakaran dinilai dampak keparahannya (severity rate) terhadap
manusia, harta benda, dan lingkungan di sekitar terjadinya bencana terhadap
probabilitas kekerapan (frequency) terjadinya bencana tersebut. Pengendalian
risiko (risk control) kemudian dilakukan atas skenario –
skenario mana saja yang mungkin terjadi. Pada umumnya berdasarkan asas Pareto,
apabila skenario terburuk dapat dikendalikan risikonya maka skenario dengan
tingkat keparahan di bawahnya dapat tereliminasi.
Namun pada kasus – kasus tertentu sebaiknya dibuat
pengendalian risiko dengan lebih mendetail terutama bila menyangkut keselamatan
orang banyak (public safety) ataupun pada bangunan – bangunan yang
khusus seperti sekolah, rumah sakit, panti jompo, dan hotel disebabkan oleh
pengguna bangunannya yang memiliki karakteristik khusus. Semua metode
pencegahan bahaya kebakaran ini harus direncanakan, dilaksanaan, dimonitor dan
dikaji ulang secara berkala untuk memastikan bahwa metode tersebut masih
relevan dengan keadaan suatu gedung.
Identifikasi sumber bahaya (hazard identification)
Dari ketiga sumber penyebab api, pemantik dan bahan bakar
bisa saja berasal dari bagian dari gedung itu sendiri sementara oksigen hampir
selalu tersedia karena merupakan bagian dari udara yang ada di sekitar kita.
Pada bangunan gedung sumber api atau pemantik (source of ignition)
yang umum adalah:
- Api
terbuka (naked flame) seperti: nyala lilin, puntung rokok, korek
api, kompor gas, alat las menggunakan gas, dsb.
- Permukaan
panas (hot surfaces) seperti: pemanas, boiler, lampu halogen, dsb.
- Gesekan
(friction) seperti: V-belt, kumparan motor, dsb.
- Pekerjaan
yang membutuhkan panas (hot work) seperti: mengelas, menggerinda,
memotong dengan alat las.
- Percikan
api (sparks) seperti: listrik statis, hubungan arus pendek (short
circuit), dsb.
- Kesengajaan
(arson) yaitu dengan sengaja melakukan pembakaran / sabotase.
Sumber bahan bakar (fuel) pada dasarnya adalah semua benda
yang dapat terbakar. Beberapa contohnya antara lain:
- Benda
padat : kain, kayu, kertas, busa, plastik, dsb.
- Benda
cair : minyak tanah, spiritus, bahan pelarut seperti aseton, alkohol, dsb.
- Benda
gas : LPG, asetilen
Identifikasi sumber bahaya tidak sekedar mencantumkan bahaya
yang nyata, namun juga harus mengikut-sertakan sumber – sumber bahaya yang
sifatnya potensial seperti kemungkinan suatu material mengeluarkan asap beracun
ketika terbakar.
Identifikasi orang – orang yang terkena dampak (People at
risk)
Apabila sampai terjadi kebakaran, maka bahaya yang paling
besar adalah apabila api, panas, dan asap menyebar / menjalar ke bagian –
bagian lain dari gedung. Asap biasanya yang paling cepat dan mudah menyebar dan
dapat mengganggu orang – orang lain yang sedang berusaha untuk menyelamatkan
diri. Bahan – bahan tertentu dapat menimbulkan asap beracun apabila terbakar
dan hal ini tentu memperburuk keadaan evakuasi.
Apabila sebuah gedung tidak memiliki akses darurat yang
cukup atau api membesar dengan cepat dan tidak terkendali sebelum dapat
diketahui maka penghuni gedung dapat terjebak dan dapat menjadi korban, baik
dari api itu sendiri, maupun dari hawa panas dan asap yang terjadi.
Untuk itu dalam sebuah asesmen terhadap bahaya kebakaran
perlu juga dipertimbangkan hal – hal berikut ini:
- Kemungkinan
api membesar dan menjalar termasuk hawa panas dan asap yang dihasilkan.
Harus diingat bahwa bahan bakar tertentu dapat menghasilkan panas yang
lebih tinggi dan asap yang lebih membahayakan dari bahan yang lainnya.
- Jumlah
orang yang terdampak, termasuk pengelola gedung, pengunjung, maupun orang
– orang lain yang mungkin ada di dalam gedung tersebut.
- Pengaturan
pemberitahuan tentang adanya kebakaran kepada seluruh pengguna gedung.
- Akses
bagi pengguna gedung untuk menyelamatkan diri, dan akses bagi petugas
pemadam kebakaran untuk masuk pada saat terjadi kebakaran.
Mengevaluasi dan Mengendalikan Risiko
Segera setelah sumber bahaya dan orang – orang yang
terdampak diketahui dan diidentifikasi, maka langkah selanjutnya adalah
mengevaluasi efek dari setiap sumber bahaya dengan memperhitungkan cara – cara
pengendalian risiko yang sudah ada. Setelah hal ini dilaksanakan, maka harus
ditentukan apakah cara – cara pengendalian risiko yang telah ada tersebut masih
memadai atau harus diperbaiki untuk mengurangi risiko sehingga berada pada
ambang yang dapat diterima.
Pada dasarnya ada dua langkah yang dapat diambil untuk
mengendalikan risiko bahaya kebakaran. Langkah – langkah tersebut adalah :
1. |
Pencegahan Pasif |
: |
Pencegahan pasif adalah upaya untuk mencegah kebakaran
dengan memanfaatkan rekabentuk suatu gedung untuk mencegah timbulnya api atau
menghambat penyebaran api. Langkah ini harus diambil pada saat perencanaan
suatu gedung dengan jalan antara lain:
|
2. |
Pencegahan Aktif |
: |
Pencegahan secara aktif yaitu dengan menyediakan alat –
alat pemadam kebakaran dan pencegahan kebakaran pada suatu gedung. Peralatan
tambahan tersebut dapat berupa tanda bahaya kebakaran (fire alarm),
pendeteksi asap (smoke detector), keran hydrant, pemercik (sprinkler),
dsb. |
Dalam menetapkan langkah untuk mencegah bahaya kebakaran
sebaiknya mengikuti cara – cara dibawah ini agar diperoleh langkah yang paling
efektif dan efisien :
1. |
Eliminasi |
: |
Menghilangkan secara total sumber – sumber bahaya yang
mengancam. Misalnya dengan memindahkan sumber bahan bakar atau sumber
pemantik ke tempat lain. |
2. |
Subsitusi |
: |
Mengganti sumber bahaya dengan bahan lain sehingga
menghilangkan atau setidaknya mengurangi risiko yang timbul, misalnya dengan
mengganti bahan yang mudah terbakar dengan bahan lain yang sulit terbakar,
atau mengganti bahan bakar dengan bahan bakar yang lambat terbakar (slow
burning fuel) |
3. |
Regulasi |
: |
Melakukan kontrol secara ketat terhadap barang – barang
yang mudah terbakar ataupun menerapkan prosedur operasi standar dalam
penggunaan bahan – bahan yang menjadi sumber bahaya dan ketika berada di
dalam keadaan bahaya. Misalnya penggunaan sistem LOTO (lock out and tag
out) pada katup – katup gas, mengadakan pelatihan penanggulangan bahaya
kebakaran yang wajib diikuti oleh pengguna gedung. |
4. |
Proteksi |
: |
Melakukan perlindungan terhadap bahaya kebakaran dengan
menyediakan alat pencegah kebakaran dan alat pelindung diri pada gedung.
Misalnya dengan pemasangan hydrant, pemasangan APAR, dan lain sebagainya. |
Dalam menghilangkan risiko langkah – langkah tersebut dapat
dipilih yang paling sesuai atau bisa jadi ada lebih dari satu langkah untuk
mencegah terjadinya kebakaran yang disebabkan oleh satu jenis sumber bahaya
tertentu. Apabila terlihat adanya satu kekurangan dalam upaya pencegahan
kebakaran, maka langkah – langkah untuk memperbaiki kekurangan tersebut harus
diambil termasuk penentuan siapa yang bertanggung jawab untuk melakukan
perbaikan tersebut dan waktu yang diperlukan untuk pelaksanaan perbaikan sehingga
tercapai risiko yang dapat dikendalikan dan dalam ambang yang dapat diterima.
Apabila sebuah gedung relatif baru dan modern, maka pada
umumnya sistem manajemen pencegahan kebakaran telah diimplementasikan. Namun
tidak menutup kemungkinan sistem tersebut diaplikasikan pada gedung – gedung
tua yang dibangun sebelum undang – undang atau peraturan tentang pencegahan
bahaya kebakaran dibuat. Apabila gedung tersebut termasuk di dalam gedung
dengan risiko kebakaran yang cukup tinggi maka perlu dibuat rencana mitigasi
bencana harus dibuat dengan lebih mendetail.
Pencatatan Temuan (Records of Findings)
Apabila dalam penerapan sistem manajemen pencegahan bahaya
kebakaran gedung ditemukan sesuatu yang harus menjadi perhatian, maka temuan
tersebut harus dikomunikasikan kepada semua pemangku kepentingan. Sistem
manajeman pencegahan bahaya kebakaran harus dapat diakses oleh semua orang
terutama bagi mereka yang memiliki risiko terkena dampaknya.
Temuan tersebut harus mengindikasikan apakah langkah –
langkah yang ditempuh sudah memadai dalam pencegahan bahaya kebakaran, dan
apabila belum apakah sudah ada usaha untuk memperbaikinya, siapa yang
bertanggung jawab, dan kapan tenggat waktu perbaikan terhadap sistem tersebut
harus sudah selesai dilaksanakan.
Metode – metode pencegahan kebakaran, dan informasi –
informasi penting mengenai cara – cara evakuasi harus tersedia dan dapat
diketahui oleh semua orang, misalnya dengan membuat peta evakuasi yang diletakkan
pada tempat – tempat yang mudah dilihat, peletakan APAR / hydrant pada
lokasi – lokasi yang mudah dijangkau dsb.
Sumber Referensi :
PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM NOMOR : 26/PRT/M/2008
TANGGAL 30 DESEMBER 2008 TENTANG PERSYARATAN TEKNIS SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN
PADA BANGUNAN GEDUNG DAN LINGKUNGAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2002
TENTANG BANGUNAN GEDUNG
Ambar Kristiyanto (2012), Evaluasi Sistem
Manajemen Kebakaran Gedung Rektorat Universitas Brawijaya, Erudio Vol. 1
No. 1 Desember 2012
Andrew Furness, Martin Muckett (2007) Introduction
to Fire Safety Management, Oxford, Elsevier.
Arief Setyawan, Endo Wijaya Kartika, Studi
Eksploratif Tingkat Kesadaran Penghuni Gedung Bertingkat Terhadap Bahaya
Kebakaran: Studi Kasus di Universitas Kristen Petra Surabaya, Surabaya,
Univ. Kristen Petra.
BPSI Safety Training (2008), Sistem Manajemen
Penanggulangan Kebakaran, Jakarta, BPSI.
London Fire Brigade (2013), Fire Assessment in
Building, London, London Fire Brigade.
Ministry of Justice (2013), Fire Safety Planning
for Construction and Demolition Sites, Victoria, Emergency Management
British Columbia.
Muhadi (2008), Pencegahan Resiko Kebakaran
Gedung: Peran Dan Tindakan Pusat Layanan Kebakaran Dan Pertolongan Département
Rhone, Thesis, Semarang, Universitas Diponegoro.
National Fire Protection Association (2013), High-Rise
Building Fires and Fire Safety, Boston, NFPA.
Saesario M.S. Indrawan, ST (2013) , Sistem
Manajemen Pencegahan Kebakaran Gedung Tinggi